Di tahun 1980-an pernah terbit novel indah yg bercerita tentang kisah perjalanan Samurai besar bernama Miyamoto Musashi.
Sungguh, itu kisah perjalanan spiritual yg sangat mengagumkan. Seorang anak muda yg sangat kasar bernama Takezo mengubah dirinya menjadi Samurai yg memasuki gerbang kesempurnaan.
Jika bukan kelahiran tingkat tinggi, jangan coba-coba mengambil jalan ini. Kesempurnaan di jalan pedang harus berkali-kali melewati pengalaman yg sangat dekat dg kematian.
Di jalan ini, kesempurnaan juga didekati dg cara melahirkan banyak lawan yg siap membunuh kapan saja. Indahnya, ia melahirkan Cahaya kesadaran dan kewaspadaan yg tinggi sekali di dalam.
Titik balik hidup Takezo menuju Musasahi terjadi karena ia "dikurung" di perpustakaan kerajaan. Diminta membaca ke luar sekaligus membaca ke dalam. Tokoh menentukan dalam hal ini adalah Bhiksu bernama Takuan.
Bacaan ke luar dan ke dalam ini tidak saja disempurnakan melalui pertempuran satu lawan satu yg berbahaya, tapi juga dg kedekatan bersama alam. Bahasa Balinya buana alit menyatu dg buana Agung.
Seperti ada tangan sempurna yg membimbing, begitu Musashi mendekati kesempurnaan, datang Samurai muda bernama Sasaki Kojiro. Dg teknik pedang yg jauh lebih tinggi.
Pertempuran Musashi-Kojiro ini sangat fenomenal. Jika Kojiro marah sekali menunggu lawannya karena datang terlambat. Musasahi di tengah perahu menuju tempat pertempuran mengukir patung Buddha Canon (perwujudan Buddha belas kasih Avalokiteshvara di Jepang).
Begitu Musasahi turun dari perahu, Kojiro langsung melompat sambil membuang sarung pedangnya. Musasahi tersenyum: "Anda kalah Kojiro. Sarung pedang adalah masa depan. Anda telah membuang masa depan".
Maka dimulailah pertempuran tingkat tinggi antara anak muda yg menguasai "teknik" pedang, dg orang dewasa yg menyatu dg "spirit" pedang. Ujungnya Kojiro roboh.
Dari sana dicatat, teknik (baca: kepintaran) tanpa spirit mudah membuat orang roboh. Spirit (baca: kebersatuan) kendati didukung oleh teknik yg terbatas, kemungkinan selamatnya lebih tinggi.
Ini terjadi, karena bagi ia yg spiritnya menyatu, tidak ada kalah-menang. Bahkan mati-hidup pun tidak ada. Di tingkat ini, pedang tidak lagi digerakkan oleh tangan manusia. Tapi ia menjadi tangan Cahaya.
Keterangan foto: Salah satu cucu Guruji di Jakarta bernama Surya